BIAS
PADA REALITY SHOW
STUDI
KASUS REALITY SHOW “PANAH ASMARA
ARJUNA” DI ANTV
oleh Fina Zahra
Ada yang menarik dalam reality show. Reality show banyak diklaim sebagai sebuah program semi dokumenter,
sebab dibuat berdasarkan situasi dan kejadian apa adanya yang direkam tanpa script atau naskah. Dengan kata lain, reality show dianggap sebagai sebuah
tontonan yang benar-benar terjadi tanpa rekayasa apapun. Reality show yang ditayangkan di Indonesia antara lain:
“Termehek-Mehek”, “Katakan Cinta”, “Pemburu Hantu”, “Realigi”, dan “Jika Aku
Menjadi”. “Termehek-Mehek” dan “Katakan Cinta” adalah reality show tentang percintaan, biasanya menceritakan kaum muda
yang belum menikah dan usaha mereka untuk mendapatkan pasangan. Lain halnya
dengan “Pemburu Hantu” dan “Realigi” yang mengangkat tema mistis, menceritakan
tentang pengalaman religius dan bagaimana para ahli seperti ustadz berusaha
melawan dan mengusir makhluk halus yang dinilai mengganggu pada suatu lokasi
tertentu. Sedangkan “Jika Aku Menjadi” mengangkat tema sosial, menampilkan
seseorang yang hidup berkecukupan mencoba merasakan hidup kekurangan. Ia
kemudian menjadi tamu seseorang yang diasumsikan miskin, lalu menjalani
kehidupan sebagaimana orang tersebut. Pada akhir acara, si tamu akan memberikan
hadiah sebagai bantuan dan modal orang yang diasumsikan miskin tersebut.
Pemahaman bahwa reality
show sebagai hal yang benar-benar terjadi
tanpa rekayasa terus direproduksi secara massal. Meskipun belakangan banyak
dipertanyakan sampai mana batas kebenaran dalam reality show dan bahkan banyak muncul sanggahan atasnya, namun pemahaman
yang telah ditanamkan oleh kreator reality
show kepada audiens telah kuat mengakar. Hal ini pun sudah menjadi bias pemahaman
konten televisi yang sulit dihindari dan karenanya sering disepelekan. Namun,
bias pemahaman yang tampaknya sepele tersebut berpotensi membentuk ideologi dan
budaya baru. Hal ini dikarenakan, menurut Burton (2000:50), televisi merupakan
bentuk budaya, ekspresi budaya, dan medium di mana budaya dimediasi oleh
khalayaknya. Permasalahannya, ideologi dan budaya baru yang bagaimana yang akan
terbentuk jika dalam informasi yang didapat sendiri sudah terdapat bias pemahaman?
Sebuah reality show terbaru diproduksi oleh
ANTV dengan nama program “Panah Asmara Arjuna”. Acara tersebut tayang perdana
pada 11 Oktober 2014 dan ditayangkan setiap Sabtu pukul 21.00 WIB. “Panah
Asmara Arjuna” menghadirkan kompetisi sepuluh peserta yang disebut “Dewi” dalam
memenangkan hati Sang Arjuna, yang diperankan oleh Shaheer Sheikh. Para Dewi
semuanya adalah orang Indonesia, sedangkan Sang Arjuna adalah seorang artis
India. Para Dewi tersebut akan dikarantina selama 90 hari dan setiap minggunya
ada eliminasi peserta yang dilakukan oleh Sang Arjuna. Selama masa karantina,
para Dewi tersebut juga menghadapi berbagai macam tantangan games, harus memecahkan konflik di
antara mereka, dan tentu saja kencan dengan Arjuna sebagai imbalannya.
Di dalam “Panah Asmara
Arjuna”, pemilihan Shaheer Sheikh sebagai Arjuna merupakan salah satu bentuk
eksploitasi kepopuleran Shaheer Sheikh setelah ia memerankan karakter Arjuna
dalam serial “Mahabaratha” di stasiun televisi yang juga ditayangkan oleh ANTV.
Karakter Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna” pun dengan sengaja dibuat semirip
mungkin dengan karakternya dalam “Mahabaratha”. Fenomena ini kemudian
menimbulkan pertanyaan, bagaimana dan sampai sejauh mana bias pemahaman dalam reality show tersebut direproduksi?
Klaim Reality Show dan Audiens Aktif
Reality
mengacu pada kenyataan yang asli; benar-benar terjadi di dunia nyata, sedangkan
show merujuk pada pertunjukan atau
tontonan yang sudah direncanakan dan diatur. Karenanya, reality show diklaim sebagai program semi dokumenter yang merekam
apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata dan tanpa script yang mengatur. Reality
show adalah kenyataan yang dipertontonkan secara alami dan tidak
direkayasa. Bertujuan menekankan “keaslian”, reality show biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bukan dari
kalangan selebritis. Menurut Danesi (2004:278), reality show memang membenturkan orang biasa—bukan aktor—dengan
situasi yang mengandung semua unsur dramatis dalam opera sabun.
Pemahaman reality show sebagai tontonan yang “asli
dan benar-benar terjadi” telah melekat erat dalam benak audiens. Audiens yang
meyakini pemahaman tersebut kemudian menjadi terikat dengan reality show, setia menontonnya, dan
membicarakannya. Selanjutnya, audiens yang bersifat aktif turut andil dalam
mereproduksi pemahaman tersebut hingga akhirnya pemahaman tersebut terpelihara.
Bahkan menurut Burton (2000:305), audiens televisi benar-benar terlibat dengan
materi yang sepanjang produksinya tidak terkontrol, dan dengan segi-segi yang
tampaknya didesain mencenderungi jenis pemahaman tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa
reproduksi dan pelestarian pemahaman tertentu di ranah publik tidak hanya
dilakukan oleh pihak televisi, namun juga para audiens. Bahkan, audiens yang
sudah sangat meyakini pemahaman itulah yang banyak mereproduksi dan
melestarikan pemahaman tersebut.
Konstruksi Makna
dalam “Panah Asmara Arjuna”
Judul
reality show “Panah Asmara Arjuna”
sudah memberikan gambaran pemahaman kepada audiens.Panah asmara mengisyaratkan
bahwa program acara tersebut bertemakan asmara (cinta) dan sebangsanya,
kemudian Arjuna sendiri banyak digunakan sebagai representasi pria idaman.
Selain itu, Arjuna di sini juga merujuk pada teks media yang lain, yakni
karakter Arjuna dalam serial “Mahabaratha”.
Artis
yang berperan sebagai Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna”dan serial
“Mahabaratha” adalah orang yang sama, bahkan karakternya dalam dua acara
tersebut sengaja dibuat semirip mungkin. Dalam hal ini, kreator “Panah Asmara
Arjuna” telah meminjam imej dari serial “Mahabaratha”, sehingga tak perlu lagi
bersusah payah membangun karakter tokoh tersebut dalam reality show. Di sini, pemahaman audiens mengenai Arjuna dibiaskan
serta mengkonstruksi sosok Arjuna sebagai karakter tunggal: Shaheer Sheikh
adalah Arjuna yang sebenarnya. Fenomena ini menjadikan realita dan fiksi dalam
program acara menjadi bias. Hal ini seakan menjadi usaha kreator reality show “Panah Asmara Arjuna” untuk
membodohi dan mempermainkan audiens.
Plot
besar dalam reality show “Panah
Asmara Arjuna” adalah sepuluh wanita yang disebut “Dewi” berusaha mendapatkan
perhatian dan sebisa mungkin cinta dari Arjuna. Para Dewi tersebut diklaim
sebagai para peserta terpilih hasil dari audisi dan semuanya bukan berasal dari
kalangan artis. Dengan cara tersebut, kreator “Panah Asmara Arjuna”
mengkonstruksi pemahaman audiens bahwa apa yang tampak dalam reality show tersebut adalah kenyataan
yang betul-betul terjadi dan tidak ada script
yang mengaturnya.
Jika audiens telah
meyakini pemahaman yang dikonstruksikan oleh kreator, permasalahannya kemudian,
sikap seperti apa yang diperlihatkan para Dewi dalam acara tersebut?
Diperlihatkan dalam
usaha mendapatkan perhatian dan cinta Arjuna, para Dewi berjuang sekuat tenaga.
Bahkan, sikap buruk yang tidak pantas ditiru pun dilakukan, contohnya adalah
memakai pakaian yang kelewat seksi. Padahal, televisi sebagai media gambar dan
suara memiliki kemampuan lebih dalam mempengaruhi audiens.
Sanggahan Atas Klaim
Kenyataan dalam Reality Show
Melihat bagaimana
karakter Arjuna dalam reality show “Panah
Asmara Arjuna”, menjadi jelas bahwa reality
show tidaklah menampilkan apa yang betul-betul terjadi tanpa rekayasa. Sejak
awal program tersebut dibuat, telah ada rencana besar beserta detailnya dalam
penyiaran. Burton (2000:12) berpendapat bahwa televisi menurut definisinya
tidaklah real. televisi adalah medium teknis untuk membangun sebuah versi
tentang yang real: semua program itu tidak real; semua program itu hanyalah berbagai
versi yang berbeda mengenai yang real.
Danesi (2004:279)
berpendapat, reality show hanyalah
satu gejala voyeurisme—mengintip--di mana kita lebih suka hidup di tempat umum
ketimbang hidup dalam privasi. Kemudian, bisa jadi pada level bawah sadar yang
dalam kita ingin memaknai kehidupan dengan melihat kehidupan orang lain, dan
menurutnya hal itu adalah aneh.Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Terlalu
suka mengumbar hal yang seharusnya bersifat privat dan bahkan mengizinkan orang
lain mengetahui kehidupan kita sehari-har memang aneh, sebab seolah tidak
memiliki kendali atas diri sendiri. Namun, mempelajari makna kehidupan dari
pengalaman orang lain bukanlah hal yang aneh, sebab manusia memiliki
keterbatasan ruang gerak.
Sumber Pustaka:
Burton,
Graeme, 2004, Membincangkan Televisi
(Sebuah Pengantar Kajian Televisi), Yogyakarta: Jala Sutra.
Danesi,
Marcel, 2000, Pesan, Tanda, dan Makna,
Yogyakarta: Jala Sutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar