Kamis, 15 Oktober 2015

Daripada Basi Tanpa Sempat Dibagi



BIAS PADA REALITY SHOW
STUDI KASUS REALITY SHOW “PANAH ASMARA ARJUNA” DI ANTV
oleh Fina Zahra

Ada yang menarik dalam reality show. Reality show banyak diklaim sebagai sebuah program semi dokumenter, sebab dibuat berdasarkan situasi dan kejadian apa adanya yang direkam tanpa script atau naskah. Dengan kata lain, reality show dianggap sebagai sebuah tontonan yang benar-benar terjadi tanpa rekayasa apapun. Reality show yang ditayangkan di Indonesia antara lain: “Termehek-Mehek”, “Katakan Cinta”, “Pemburu Hantu”, “Realigi”, dan “Jika Aku Menjadi”. “Termehek-Mehek” dan “Katakan Cinta” adalah reality show tentang percintaan, biasanya menceritakan kaum muda yang belum menikah dan usaha mereka untuk mendapatkan pasangan. Lain halnya dengan “Pemburu Hantu” dan “Realigi” yang mengangkat tema mistis, menceritakan tentang pengalaman religius dan bagaimana para ahli seperti ustadz berusaha melawan dan mengusir makhluk halus yang dinilai mengganggu pada suatu lokasi tertentu. Sedangkan “Jika Aku Menjadi” mengangkat tema sosial, menampilkan seseorang yang hidup berkecukupan mencoba merasakan hidup kekurangan. Ia kemudian menjadi tamu seseorang yang diasumsikan miskin, lalu menjalani kehidupan sebagaimana orang tersebut. Pada akhir acara, si tamu akan memberikan hadiah sebagai bantuan dan modal orang yang diasumsikan miskin tersebut.
Pemahaman bahwa reality show sebagai hal yang benar-benar terjadi tanpa rekayasa terus direproduksi secara massal. Meskipun belakangan banyak dipertanyakan sampai mana batas kebenaran dalam reality show dan bahkan banyak muncul sanggahan atasnya, namun pemahaman yang telah ditanamkan oleh kreator reality show kepada audiens telah kuat mengakar. Hal ini pun sudah menjadi bias pemahaman konten televisi yang sulit dihindari dan karenanya sering disepelekan. Namun, bias pemahaman yang tampaknya sepele tersebut berpotensi membentuk ideologi dan budaya baru. Hal ini dikarenakan, menurut Burton (2000:50), televisi merupakan bentuk budaya, ekspresi budaya, dan medium di mana budaya dimediasi oleh khalayaknya. Permasalahannya, ideologi dan budaya baru yang bagaimana yang akan terbentuk jika dalam informasi yang didapat sendiri sudah terdapat bias pemahaman?
Sebuah reality show terbaru diproduksi oleh ANTV dengan nama program “Panah Asmara Arjuna”. Acara tersebut tayang perdana pada 11 Oktober 2014 dan ditayangkan setiap Sabtu pukul 21.00 WIB. “Panah Asmara Arjuna” menghadirkan kompetisi sepuluh peserta yang disebut “Dewi” dalam memenangkan hati Sang Arjuna, yang diperankan oleh Shaheer Sheikh. Para Dewi semuanya adalah orang Indonesia, sedangkan Sang Arjuna adalah seorang artis India. Para Dewi tersebut akan dikarantina selama 90 hari dan setiap minggunya ada eliminasi peserta yang dilakukan oleh Sang Arjuna. Selama masa karantina, para Dewi tersebut juga menghadapi berbagai macam tantangan games, harus memecahkan konflik di antara mereka, dan tentu saja kencan dengan Arjuna sebagai imbalannya.
Di dalam “Panah Asmara Arjuna”, pemilihan Shaheer Sheikh sebagai Arjuna merupakan salah satu bentuk eksploitasi kepopuleran Shaheer Sheikh setelah ia memerankan karakter Arjuna dalam serial “Mahabaratha” di stasiun televisi yang juga ditayangkan oleh ANTV. Karakter Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna” pun dengan sengaja dibuat semirip mungkin dengan karakternya dalam “Mahabaratha”. Fenomena ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana dan sampai sejauh mana bias pemahaman dalam reality show tersebut direproduksi?
Klaim Reality Show dan Audiens Aktif
Reality mengacu pada kenyataan yang asli; benar-benar terjadi di dunia nyata, sedangkan show merujuk pada pertunjukan atau tontonan yang sudah direncanakan dan diatur. Karenanya, reality show diklaim sebagai program semi dokumenter yang merekam apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata dan tanpa script yang mengatur. Reality show adalah kenyataan yang dipertontonkan secara alami dan tidak direkayasa. Bertujuan menekankan “keaslian”, reality show biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bukan dari kalangan selebritis. Menurut Danesi (2004:278), reality show memang membenturkan orang biasa—bukan aktor—dengan situasi yang mengandung semua unsur dramatis dalam opera sabun.
Pemahaman reality show sebagai tontonan yang “asli dan benar-benar terjadi” telah melekat erat dalam benak audiens. Audiens yang meyakini pemahaman tersebut kemudian menjadi terikat dengan reality show, setia menontonnya, dan membicarakannya. Selanjutnya, audiens yang bersifat aktif turut andil dalam mereproduksi pemahaman tersebut hingga akhirnya pemahaman tersebut terpelihara. Bahkan menurut Burton (2000:305), audiens televisi benar-benar terlibat dengan materi yang sepanjang produksinya tidak terkontrol, dan dengan segi-segi yang tampaknya didesain mencenderungi jenis pemahaman tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa reproduksi dan pelestarian pemahaman tertentu di ranah publik tidak hanya dilakukan oleh pihak televisi, namun juga para audiens. Bahkan, audiens yang sudah sangat meyakini pemahaman itulah yang banyak mereproduksi dan melestarikan pemahaman tersebut.
Konstruksi Makna dalam “Panah Asmara Arjuna”
            Judul reality show “Panah Asmara Arjuna” sudah memberikan gambaran pemahaman kepada audiens.Panah asmara mengisyaratkan bahwa program acara tersebut bertemakan asmara (cinta) dan sebangsanya, kemudian Arjuna sendiri banyak digunakan sebagai representasi pria idaman. Selain itu, Arjuna di sini juga merujuk pada teks media yang lain, yakni karakter Arjuna dalam serial “Mahabaratha”.
            Artis yang berperan sebagai Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna”dan serial “Mahabaratha” adalah orang yang sama, bahkan karakternya dalam dua acara tersebut sengaja dibuat semirip mungkin. Dalam hal ini, kreator “Panah Asmara Arjuna” telah meminjam imej dari serial “Mahabaratha”, sehingga tak perlu lagi bersusah payah membangun karakter tokoh tersebut dalam reality show. Di sini, pemahaman audiens mengenai Arjuna dibiaskan serta mengkonstruksi sosok Arjuna sebagai karakter tunggal: Shaheer Sheikh adalah Arjuna yang sebenarnya. Fenomena ini menjadikan realita dan fiksi dalam program acara menjadi bias. Hal ini seakan menjadi usaha kreator reality show “Panah Asmara Arjuna” untuk membodohi dan mempermainkan audiens.
            Plot besar dalam reality show “Panah Asmara Arjuna” adalah sepuluh wanita yang disebut “Dewi” berusaha mendapatkan perhatian dan sebisa mungkin cinta dari Arjuna. Para Dewi tersebut diklaim sebagai para peserta terpilih hasil dari audisi dan semuanya bukan berasal dari kalangan artis. Dengan cara tersebut, kreator “Panah Asmara Arjuna” mengkonstruksi pemahaman audiens bahwa apa yang tampak dalam reality show tersebut adalah kenyataan yang betul-betul terjadi dan tidak ada script yang mengaturnya.
Jika audiens telah meyakini pemahaman yang dikonstruksikan oleh kreator, permasalahannya kemudian, sikap seperti apa yang diperlihatkan para Dewi dalam acara tersebut?
Diperlihatkan dalam usaha mendapatkan perhatian dan cinta Arjuna, para Dewi berjuang sekuat tenaga. Bahkan, sikap buruk yang tidak pantas ditiru pun dilakukan, contohnya adalah memakai pakaian yang kelewat seksi. Padahal, televisi sebagai media gambar dan suara memiliki kemampuan lebih dalam mempengaruhi audiens.
Sanggahan Atas Klaim Kenyataan dalam Reality Show
Melihat bagaimana karakter Arjuna dalam reality show “Panah Asmara Arjuna”, menjadi jelas bahwa reality show tidaklah menampilkan apa yang betul-betul terjadi tanpa rekayasa. Sejak awal program tersebut dibuat, telah ada rencana besar beserta detailnya dalam penyiaran. Burton (2000:12) berpendapat bahwa televisi menurut definisinya tidaklah real. televisi adalah medium teknis untuk membangun sebuah versi tentang yang real: semua program itu tidak real; semua program itu hanyalah berbagai versi yang berbeda mengenai yang real.
Danesi (2004:279) berpendapat, reality show hanyalah satu gejala voyeurisme—mengintip--di mana kita lebih suka hidup di tempat umum ketimbang hidup dalam privasi. Kemudian, bisa jadi pada level bawah sadar yang dalam kita ingin memaknai kehidupan dengan melihat kehidupan orang lain, dan menurutnya hal itu adalah aneh.Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Terlalu suka mengumbar hal yang seharusnya bersifat privat dan bahkan mengizinkan orang lain mengetahui kehidupan kita sehari-har memang aneh, sebab seolah tidak memiliki kendali atas diri sendiri. Namun, mempelajari makna kehidupan dari pengalaman orang lain bukanlah hal yang aneh, sebab manusia memiliki keterbatasan ruang gerak.

Sumber Pustaka:
Burton, Graeme, 2004, Membincangkan Televisi (Sebuah Pengantar Kajian Televisi), Yogyakarta: Jala Sutra.
Danesi, Marcel, 2000, Pesan, Tanda, dan Makna, Yogyakarta: Jala Sutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar