Rabu, 14 Oktober 2015

Dalam Sebuah Forum Diskusi



Saya pernah mencoba untuk mengikuti sebuah forum dengan berbekal kenekadan. Sebenarnya bukan sebuah forum yang ‘wah’ atau ‘wow’, hanya sebuah forum diskusi sederhana yang membahas pendidikan di Indonesia. Saya katakan saya berbekal nekad, sebab saya sangat jarang mengikuti seminar, apalagi forum diskusi. Ya, saya hanya seorang yang kurang gaul dan masih sedikit pengetahuan. Kesadaran  ini membuat saya tak banyak berekspektasi tentang bagaimana diskusi akan berjalan. Yang saya tahu hanya, saya ingin mencoba bergaul dengan banyak orang dan ingin bertukar pikiran dengan orang lain. Kenyataannya, sejak ditinggal seorang sahabat ke Australia, saya terus merindukan saat-saat berdiskusi dengannya. Maka, saya membulatkan tekad untuk mengikuti forum tersebut.
Singkat cerita, saya sampai di forum diskusi tersebut setelah memindah beberapa kegiatan saya. Saya bertemu dengan banyak orang, tetapi hanya beberapa yang sempat berkenalan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dengan dua orang pemandu di tiap kelompok. Kami membahas dua persoalan, persoalan umum dan persoalan yang lebih spesifik dengan sebuah korpus.
Saya termasuk dalam sebuah kelompok beranggotakan enam orang, tiga perempuan dan tiga laki-laki. Seketika itu pula, saya berinisiatif untuk berkenalan dengan setiap orang. Ini mungkin terdengar konyol, tetapi berani berinisiatif untuk berkenalan bagi saya merupakan sebuah prestasi tersendiri, sebab saya lebih sering diam dan ragu-ragu sebelumnya. Kelima teman sekelompok saya adalah orang-orang yang menyenangkan, tapi ada satu orang yang saya ingat dengan baik: seorang mahasiswi semester satu yang datang dari Kulon Progo. Ketika berkenalan dengannya, saya refleks bertepuk tangan. Pertama, hal itu refleks sebab saya terlalu sering menonton “The Return of Superman” yang menampilkan panduan kepada anak-anak agar bertepuk tangan di hampir setiap saat. Kedua, teman saya itu menempuh jarak yang lebih jauh dari saya dan sepanjang acara dia sangat bersemangat. Luar biasa.
Memulai diskusi, salah seorang pemandu membacakan topik yang akan kami bahas. Sebuah kasus yang masih sangat global, dan… mengkhawatirkan. Topiknya ialah apa masalah yang dihadapi pendidikan di Indonesia, bagaimana menurut peserta diskusi, dan apa kontribusi yang dapat diberikan?
Sebuah kecerobohan, saya belum pernah mendalami tentang pendidikan, baik secara umum maupun spesifik. Saya memang gemar membaca artikel tentang pendidikan, dan beberapa kali berdiskusi dengan kerabat dan teman kampus perihal pendidikan di Indonesia, tapi belum pernah benar-benar mengetahui bagaimana kondisi riil di lapangan. Maka menanggapi topik yang diajukan dalam forum, saya lebih banyak memposisikan diri sebagai pendengar dan pengamat. Beberapa kali saja saya ikut menanggapi pendapat peserta lain. Di sinilah sebenarnya yang ingin saya bahas. Hahahahaa… (udah muter-muter dulu sebelumnya. Maaf…)
Seorang teman dalam forum diskusi tersebut bercerita bahwa ia pernah mengajar dan ia merasa bahwa masih banyak anak sekolah yang tidak memiliki cita-cita yang tinggi. Masih ada yang hanya ingin menjadi seorang petani, sebab pekerjaan tersebut adalah pekerjaan orang tuanya dan ia lihat cukup mudah untuk dilakukan. Teman tersebut berpendapat bahwa cita-cita semacam itu sudah seharusnya dibenahi dan para murid didorong untuk memiliki cita-cita yang ‘cukup layak’. Saya sependapat dengan bagian ‘dibenahi’, namun saya kurang sepakat dengan ‘cita-cita yang cukup layak’. Sederhana saja, menurut saya, pekerjaan sebagai petani layak untuk diperjuangkan. Petani harus mengurus kelangsungan sawahnya agar terus produktif sekaligus mampu menjadi penopang hidup keluarga. Hal tersebut bukan perkara mudah, melihat bagaimana tidak stabilnya kondisi pasar yang menyebabkan harga beras naik-turun. Di sisi lain, perlu diingat bahwa beras masih merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, sehingga pekerjaan sebagai petani dapat dianggap sebagai sebuah pekerjaan mulia demi menjaga ketahanan pangan di Indonesia.
Jika istilah ‘membenahi’ yang digunakan, maka saya memilih untuk membenahi cara pandang para murid sekolah terhadap penghargaan atas segala sesuatu. Sangat tidak pantas menurut saya, jika ada yang berpendapat bahwa pekerjaan petani adalah pekerjaan yang mudah. Sebagaimana saya katakan sebelumnya, petani memiliki peran yang signifikan terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Lalu jika membahas tentang ‘pekerjaan yang cukup layak’, maka pertanyaan saya, manakah pekerjaan yang cukup layak, seorang petani yang berjuang dengan niatan menafkahi keluarganya dan turut menjaga ketahanan pangan negeri ataukah, pekerjaan sebagai pejabat namun melakukan tindakan korupsi dan mengkhianati bangsa beserta masyarakatnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar