Malaikat dalam
Kesunyian Nada
Ketika masih kecil, aku
bersama teman-teman sering bermain manten-mantenan,
berpura-pura menjadi pengantin. Seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan menjadi sepasang pengantin. Beberapa kali aku mendapatkan peran sebagai
pengantin perempuannya, memakai mahkota dan cincin yang terbuat dari rangkaian
bunga. Sejak saat itu, aku bercita-cita menjadi desainer perhiasan dan menjadi
pengantin wanita yang cantik.
***
Maaf, Nada,
tiba-tiba ada tamu dari Belanda. Nanti aku ke rumahmu.
I’m so sorry....
Pesan singkat dari Yuli
membatalkan acara kami sore ini untuk menonton film di bioskop. Sudah di sini,
seharusnya aku masuk saja dan menonton film yang sudah sebulan kurencanakan
bersama Yuli. Tetapi, menonton di bioskop sendirian kurang seru, menurutku. Tak
ada teman untuk diajak berdiskusi seusai menonton film. Aku baru beberapa
langkah dari pintu bioskop ketika seseorang menepuk pundakku.
“Maaf, ini... kuncinya
jatuh.”
Aku menoleh untuk
melihat siapa yang bicara. Orang itu mengulurkan kunciku sambil tersenyum.
Sosoknya sempurna dengan tubuh proporsional dan senyum yang menawan,
menampakkan sederet geligi putih dan rapi. Lelaki itu... tampak seperti
malaikat.
“Hei...?” lelaki itu
menyadarkanku dari lamunan, membuatku tersipu. Ia masih tersenyum manis ketika
kuambil kunci dari tangannya. Setelah mengangguk sembari tersenyum aku pun
pergi meninggalkannya.
Malamnya, Yuli menepati
janjinya untuk datang ke rumahku. Ia juga membawa es krim sebagai permintaan
maafnya karena membatalkan janji tadi sore. Yuli bercerita bahwa orang Belanda
yang diceritakannya lewat sms tadi
positif menjadi donatur panti yang kami asuh, Panti Matahari.
“Sumbangannya besar
lho, Na. Mungkin spekulasi bahwa orang Belanda ingin menebus kesalahan masa
lalu terhadap bangsa Indonesia itu emang benar.” kata Yuli. Terkadang, Yuli
bisa sangat nasionalis dan fanatik tentang sejarah. Aku cuma mengulum senyum.
“Yaa... siapa tahu ‘kan?” lanjutnya.
“Oh ya, donatur itu
ingin kita memberinya dokumentasi berupa video Panti Matahari. Dia nggak maksa
sih, tapi kupikir itu ide yang bagus. Aku pengen mengajukannya sama Bu Fatimah,
gimana menurutmu?” tanya Yuli dengan binar antusiasme di matanya.
Sebenarnya, Bu
Fatimah—Kepala Panti
kami itu adalah orang yang sangat perhitungan. Tapi, aku tahu Yuli adalah orang
yang kompeten dan sangat keras kepala, maka aku yakin Yuli bisa membujuk Bu
Fatimah. Aku langsung menyetujui idenya. Yuli tampak senang dan matanya makin
berbinar.
Usai membicarakan soal Panti Matahari, aku pun
bercerita kepada Yuli tentang lelaki dengan sosok malaikat dan senyum memikat
yang kutemui sore tadi.
“Woow... Apa ini
artinya kamu udah ketemu sama pengantin priamu?” Yuli mengerling menggodaku.
Tidak. Mustahil dia
menjadi pengantin priaku. Sosoknya, senyumnya, dan sikap sopannya memang
seperti pengantin pria yang selama ini aku idam-idamkan. Tetapi, masih terlalu
cepat mengaitkannya. Lagipula, meski aku sangat ingin hal itu terwujud, tapi
ada masalah yang langsung terbayang di antara kami. Meskipun... sejujurnya, aku
berharap bisa bertemu lagi dengan lelaki itu.
***
Dan harapanku terkabul!
Terimakasih, Tuhan.... Alhamdulillaah....
Siang itu aku sedang
belanja bahan untuk membuat pernak-pernik yang kujual secara online. Kemudian entah bagaimana,
pandanganku bersirobok dengan sosoknya. Ya, aku yakin itu adalah dia: lelaki
malaikat dengan senyum memikat. Dia membawa sebuah kamera video, tampaknya ia
sedang membuat profil toko ini. Kameranya merekam pemilik toko yang tengah
melayani pembeli dengan ramah. Setelah agak lama, lelaki itu merekam suasana
toko yang memang sedang sangat ramai. Dia merekam gambar dengan perlahan. Detik
berikutnya, aku panik dan segera pergi ketika aku sadar dia sedang merekamku.
Oh, tidak... jangan sampai dia melihat ekspresi bodohku yang memperhatikannya
sedari tadi. Sama seperti sebelumnya, aku menghindarinya dan segera pergi dari
toko.
Malam itu, Yuli
membantuku merangkai manik-manik untuk pernak-pernik online-ku. “Na, coba deh kamu desain perhiasan trus kerjasama
dengan perusahaan emas dan perak. Pasti sukses, Na. Desain kamu ‘kan
bagus-bagus.”
Aku senang mendengar
usul Yuli. Bisnis sekaligus menyalurkan hobi, tentu sangat menyenangkan. Tak
sabar ingin kutunjukkan sebuah desain cincin emas yang baru kubuat. Anehnya,
kucari-cari di dalam tas maupun sketch
book tak juga kutemukan.
“Apa mungkin jatuh, Na?
Tadi kamu pergi ke mana aja?”
Hari ini aku pergi ke
beberapa tempat. Kertas itu bisa jatuh di mana saja, bahkan di dalam bus yang
kunaiki. Ahhh..., badanku lemas seketika. Sepertinya aku hanya bisa pasrah dan
merelakannya. Tak apa, aku bisa
membuatnya lagi, batinku berusaha menenangkan diri sendiri.
***
Satu setengah bulan
lagi akan ada pertunjukan untuk para donatur, jadi hari ini aku harus ke panti
untuk mengukur kostumnya. Yuli datang belakangan
bersama
seseorang.
“Na, ini Daffa. Dia
yang mau bantu kita bikin video
profil panti.” Yuli memperkenalkan orang itu.
DIA??!
Aku hampir tak bisa
menutupi kekagetanku. Dia adalah malaikat yang mengganggu tidurku beberapa
minggu ini. Malaikat dengan senyum memikat itu ternyata bernama Daffa.
“Kamu...? tunggu,”
Daffa tampak mengingat-ingat sesuatu ketika kami berkenalan. Lalu, ia mengambil
sesuatu dari dalam tasnya. “Ini... sepertinya punyamu?” ia menyodorkan selembar
kertas dengan coretan pensil di atasnya.
Desain cincinku yang
hilang! Ah, untung bisa kutemukan lagi.
Daffa mencoba
berkenalan dengan anak-anak panti yang sudah sedari tadi memperhatikan kami dan memandangi Daffa dengan raut penasaran.
Baru sebentar berkenalan, anak-anak kecil itu terlihat sangat menyukai Daffa.
***
“Bu Fatimah setuju bikin dokumentasi panti!”
ujar Yuli, tepat ketika kubukakan pintu rumah untuknya. Aku turut senang
mendengarnya.
“Jadi, besok kamu bisa
sering ketemu Daffa, Na. Kamu seneng ‘kan?” katanya lagi. Aku bingung, kenapa
tiba-tiba dia melibatkan Daffa.
Yuli tersenyum seakan
baru saja memecahkan sebuah teka-teki. “Sekarang, kamu harus cerita gimana bisa
sketsa cincin kamu itu ada di Daffa?”
Aku tak bisa mengelak
kalau Yuli sudah ‘menembak langsung’ seperti ini. Akhirnya kuceritakan kepada
Yuli bahwa Daffa adalah orang yang kusebut Malaikat dengan Senyum Memikat.
Kuceritakan pula kejadian di toko bahan pernak-pernik.
“Ehemm, jangan-jangan
kalian berjodoh, Na. O ya, setelah ini ‘kan dia bakal sering datang ke panti.
Ini kesempatanmu. Kenalan dong sama dia, pedekate, trus nikah!” komentar Yuli.
Ini dia satu lagi kebiasaan unik Yuli, dia selalu berpikir semuanya bisa
berjalan semudah apa yang dikatakannya.
***
Sudah beberapa kali
Daffa datang ke panti dan aku selalu menolak tawaran kebaikan darinya. Siang
itu di panti, aku sedang mengiringi latihan drama dengan keyboard. Daffa
merekam dengan kamera videonya. Sesekali Daffa bercanda dengan anak yang
menunggu giliran tampil. Usai latihan, dia mendekatiku dan mengajak makan
siang. Namun aku terpaksa menolak ajakannya.
Sungguh, sebenarnya aku
sangat ingin menerima kebaikannya, tertawa bersamanya, dan mengobrol dengannya
seperti orang lain, tetapi aku tahu bahwa hal itu tak mungkin bisa terwujud.
Sore itu, aku sedang berjalan
menuju halte ketika Daffa sudah menjajariku di atas motornya.
“Aku anter aja yuk,
Nada!” ajak Daffa.
Aku tersenyum dan
menggeleng, lalu mempercepat langkah.
Daffa membelokkan
motornya secara mendadak
dan berhenti tepat di depanku. Lalu ia turun dari motornya dan langsung
menghadapiku.
“Aku tertarik sama
kamu, Nada.” kata Daffa tiba-tiba, membuatku terlongong. “Sejak awal kita
ketemu di bioskop, aku udah tertarik sama kamu. Sebenarnya aku sempat mengikutimu. Waktu tahu kalo panti mau bikin video
profil, aku sengaja menawarkan diri. Trus pas kita
ketemu lagi di panti, kupikir akhirnya aku ada kesempatan deketin kamu. Tapi
kenapa, sepertinya kamu menghindariku?”
***
Sampai rumah, dadaku
masih berdebar-debar. Pernyataan Daffa terlalu mengejutkan. Bagaimana bisa
Daffa tertarik padaku? Ataukah dia hanya mempermainkanku?
Kebimbangan ini terlalu
menyiksa. Apakah aku akan selamanya berkutat dengan perasaanku sendiri tanpa
berani jujur kepada orang yang kucintai? Aku tak dapat menahan airmata yang
terus mengalir sebagai ganti beribu kata yang tak dapat terucapkan.
Sore itu, Daffa ingin
meminta tanggapan dariku atas pernyataannya. Aku tidak mengangguk ataupun
menggeleng. Dengan berat hati aku mulai menulis:
DAFFA, SUDAH TAHUKAH KAU BAHWA AKU BISU?
Rona
di wajah Daffa berubah pias. Ia melihatku setengah tak percaya dan selebihnya
adalah semacam pandangan kasihan. Aku benci pandangan seperti itu. Jelas sudah,
ia tak serius dengan ucapannya. Bagaimana mungkin dia tertarik padaku, tapi dia
tak tahu keadaanku ini?
Setelah
kejadian itu, kulihat Daffa menjadi semakin akrab dengan Yuli. Mereka kini
sering makan siang bersama. Aku memilih berpura-pura tak menghiraukan mereka
meski kenyataannya aku memikirkannya setiap saat. Kecemasan itu terbawa ke
dalam mimpi. Daffa menjadi pengantin priaku yang kemudian kabur bersama
sahabatku sendiri, Yuli. Perih rasanya melihat kedekatan mereka.
Demi menghibur hati,
kufokuskan diri pada persiapan pertunjukan panti dan mendesain perhiasan untuk
sebuah perusahaan jewelry.
***
Hari ini, pertunjukan
persembahan untuk para donatur panti digelar. Semua orang sibuk mempersiapkan
segala sesuatunya.
“Nada, bisa kita bicara
sebentar?” Daffa menanyaiku ketika kami berpapasan di lorong. “Please,” pintanya memohon.
Aku berpikir sejenak,
lalu mengangguk.
Daffa tersenyum lebar,”Makasih.” Katanya. “Aku minta maaf karena aku udah
berbuat bodoh selama ini. Aku merasa ada yang janggal karena beberapa orang di
panti selalu menghindar kalo aku menanyai mereka tentang kamu. Kupikir itu
karena kamu nggak mau kudekati. Ah, itu sungguh logika yang bodoh.” Mukanya memerah
dan ia mengerutkan matanya. Bagiku itu ekspresi yang lucu, karena hidungnya yang
mancung beo masih sangat menonjol.
“Maafkan
aku…. Tapi sekarang aku udah tahu ceritanya dari Yuli. Kuharap kali ini aku
nggak salah paham, dan aku…” tepat di saat yang membuatku tiba-tiba merinding
itu, terdengar suara MC mengarahkan yang hadir untuk segera menempati kursinya.
Acara akan segera dimulai. Menyebalkan, tapi aku harus segera pergi untuk mengiringi
paduan suara sebagai pembuka. Daffa menahan tanganku,”Nada, selesai acara aku tunggu
di bangku dekat taman baca panti, ya.” Katanya. Aku mengangguk singkat sebelum beranjak.
Setelah
paduan suara, Bu Fatimah memberikan
sambutannya. Pertunjukan untuk para donatur panti menampilkan tari
adat, acara sulap, dan yang terakhir adalah drama. Semua anak panti tampil
penuh semangat dan berusaha menampilkan yang terbaik. Mereka yang biasanya
tampak rapuh dan tak berdaya, saat ini terlihat bahagia dan percaya diri. Aku
terharu melihatnya. Para donatur pun mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan
mereka terhadap anak asuh mereka.
Acara
berakhir dengan tepuk tangan yang meriah. Benar-benar membanggakan semua
pihak.
Seusai acara, aku
membantu menempatkan barang-barang di gudang. Aku baru sampai ambang pintu
ketika kulihat Yuli dan Daffa, mereka... sedang berpelukan! Ada apa dengan semua ini?!
Aku hampir tak percaya
mereka bisa berbuat begitu. Tak lagi peduli, properti drama kutinggalkan begitu
saja dan aku langsung pergi. Di antara
sesak dan isak, kudengar suara Yuli memanggilku.
Merasa dikhianati
sahabat dan orang yang kucintai membuatku berharap bisa mengulang waktu ke
beberapa tahun silam, ketika kepercayaan diriku masih utuh dan menatap masa
depan dengan optimis. Kala itu tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku bisa
seperti sekarang, bisu dan rendah diri. Terbayang
aku yang masih ceria dengan banyak teman dan memiliki kekasih. Kini aku menangisinya.
Seolah
masih kurasakan sakitnya tenggorokanku yang tertembus besi. Terbayang satu demi
satu teman-temanku
tak lagi pernah mengunjungiku, meninggalkanku setelah
aku mengalami kecelakaan dan menjadi bisu. Bahkan
dia yang saat itu kusebut kekasih, nyatanya hanya untuk mengucap maaf lah ia
menemuiku untuk terakhir kali. Setelah sekian lama
memendam kesedihan itu, kini aku kembali menggugat Tuhan, berharap kecelakaan
itu tidak pernah menimpaku. Aku berharap saat ini aku masih bisa berbicara
dengan lancar dan penuh percaya diri, bukan seseorang yang bisu dan apatis
seperti sekarang. Tetapi, aku terbanting pada kenyataan bahwa inilah aku
sekarang: si bisu yang apatis.
Ah..., betapa bodohnya
aku. Akulah yang menghindari Daffa. Jika ia dan Yuli bahagia, kenapa aku marah?
Yuli adalah sahabat yang baik. Dia tetap mau menjadi temanku dan bersedia
meladeniku berdiskusi dan sabar karena aku harus menggunakan bahasa isyarat. Lalu
kenapa aku malah menyalahkan Tuhan? Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya dengan
cobaan yang melampaui kemampuannya. Aku masih percaya itu. Aku harus tetap
melanjutkan hidup demi diriku sendiri dan orang-orang yang menyayangiku, paling tidak, untuk Ayah dan Ibu yang kini mungkin
tengah melihatku dari alam sana.
***
Pagi ini cerah sekali. Kuputuskan
untuk pergi ke taman kota. Hijaunya tanaman, indahnya bunga yang bermekaran,
dan embun pagi yang masih menggelayut padanya selalu bisa menggugah imajinasi
dan semangatku. Aku menggambar sebuah liontin dengan bentuk tetesan
air dan sulur bunga yang seolah mendekapnya.
“Nada...,”
Aku
mendongak, ternyata Daffa sudah berdiri di depanku dan tersenyum manis. Aku terkesiap, memangnya apa yang bias kulakukan
selain diam. Ia lalu mengambil duduk di sisiku.
“Lagi
mendesain kalung, ya?” tanyanya.
“Bagus,” pujinya.
Hening.
Kami berdua seperti orang yang baru pertama bertemu.
“Maaf,”
ujar Daffa memecah kebisuan di antara kami, “tempo hari pasti bikin kamu salah
paham soal kejadian di gudang. Aku dan Yuli...” aku hampir bangkit dari
dudukku, tetapi Daffa menahan tanganku.
“Tolong jangan pergi
dulu.” pintanya. Daffa menghela napas,“Waktu itu Yuli terpeleset dan hampir
jatuh, dan kebetulan aku di dekatnya.
Tepat saat itu, kamu datang dan melihatnya.” ujar Daffa.
Lalu
kami sama-sama diam. Aku ingin percaya dengan penjelasannya, tetapi apa
gunanya? Tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku dan dia mustahil bersatu. Aku mengangguk kecil pada Daffa, lalu berdiri dan
berjalan pergi.
“Nada…!”
panggilan Daffa membuatku berhenti dan menoleh ke belakang. Ia mengeluarkan
sesuatu dari kantongnya. Sebuah kotak yang di dalamnya ada cincin persis
seperti desainku yang ditemukan olehnya. Daffa
berjalan mendekatiku, mengulurkan kotak itu tepat di depanku. Ia menatapku
dalam-dalam sambil berkata, “Nada, please,
be my wife... would you?”
Kali
ini aku benar-benar terpukau. Saat itu juga aku sangat ingin memeluk Daffa,
tapi akal sehatku masih berfungsi. Dengan panik aku mencari pensil dan selembar
kertas kosong. Aku mulai menulis:
TAPI AKU B--
Daffa
tiba-tiba menyahut kertas dari tanganku, meremasnya, lalu membuangnya begitu
saja.
Daffa kembali menatapku
dalam-dalam dan berkata,”Kamu cantik dan lembut, Nada. Kamu seperti bidadari
yang memberikan keceriaan bagi anak-anak panti. Dan terkadang, kamu juga lucu
kalau sedang mencari-cari barangmu yang terselip. Aku suka kamu yang seperti
itu. Bagaimanapun kamu, Nada, bagiku kamu selalu sempurna.”
Dapat kulihat jelas
tekad dan kejujuran dalam bola matanya, tetapi aku masih sedikit ragu.
“Nada,
aku mohon... kamu mau jadi istriku....” ujar Daffa.
Ucapannya
itu menepis semua keraguanku. Saat ini, andai aku tidak bisu pun, aku pasti akan
terbisu. Malaikat yang amat kucintai ternyata menawarkan diri menjadi
pendamping dalam kesunyianku. Lagi-lagi hanya airmata yang dapat mewakili isi
hatiku. Tetapi, kali ini aku merasa bahagia. Sangat bahagia. Terimakasih,
Tuhan. Alhamdulillaah....
Wuah apik tenan T.T
BalasHapusfinaaa... mulai menulis cerpen lagiii... aku bakal jadi pembaca setia kak
BalasHapusMbak iki opo T_T
BalasHapusIki cerpen ecek2 karyaku, Ussr... Wkwkwkwkwkwkk.. Hihihiii..
BalasHapus