Senin, 05 Oktober 2015

Cerpen.Roman.Picisan

Malaikat dalam Kesunyian Nada
Ketika masih kecil, aku bersama teman-teman sering bermain manten-mantenan, berpura-pura menjadi pengantin. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan menjadi sepasang pengantin. Beberapa kali aku mendapatkan peran sebagai pengantin perempuannya, memakai mahkota dan cincin yang terbuat dari rangkaian bunga. Sejak saat itu, aku bercita-cita menjadi desainer perhiasan dan menjadi pengantin wanita yang cantik.
***
Maaf, Nada, tiba-tiba ada tamu dari Belanda. Nanti aku ke rumahmu.
 I’m so sorry....

Pesan singkat dari Yuli membatalkan acara kami sore ini untuk menonton film di bioskop. Sudah di sini, seharusnya aku masuk saja dan menonton film yang sudah sebulan kurencanakan bersama Yuli. Tetapi, menonton di bioskop sendirian kurang seru, menurutku. Tak ada teman untuk diajak berdiskusi seusai menonton film. Aku baru beberapa langkah dari pintu bioskop ketika seseorang menepuk pundakku.
“Maaf, ini... kuncinya jatuh.”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang bicara. Orang itu mengulurkan kunciku sambil tersenyum. Sosoknya sempurna dengan tubuh proporsional dan senyum yang menawan, menampakkan sederet geligi putih dan rapi. Lelaki itu... tampak seperti malaikat.
“Hei...?” lelaki itu menyadarkanku dari lamunan, membuatku tersipu. Ia masih tersenyum manis ketika kuambil kunci dari tangannya. Setelah mengangguk sembari tersenyum aku pun pergi meninggalkannya.
Malamnya, Yuli menepati janjinya untuk datang ke rumahku. Ia juga membawa es krim sebagai permintaan maafnya karena membatalkan janji tadi sore. Yuli bercerita bahwa orang Belanda yang diceritakannya lewat sms tadi positif menjadi donatur panti yang kami asuh, Panti Matahari.
“Sumbangannya besar lho, Na. Mungkin spekulasi bahwa orang Belanda ingin menebus kesalahan masa lalu terhadap bangsa Indonesia itu emang benar.” kata Yuli. Terkadang, Yuli bisa sangat nasionalis dan fanatik tentang sejarah. Aku cuma mengulum senyum. “Yaa... siapa tahu ‘kan?” lanjutnya.
“Oh ya, donatur itu ingin kita memberinya dokumentasi berupa video Panti Matahari. Dia nggak maksa sih, tapi kupikir itu ide yang bagus. Aku pengen mengajukannya sama Bu Fatimah, gimana menurutmu?” tanya Yuli dengan binar antusiasme di matanya.
Sebenarnya, Bu Fatimah—Kepala Panti kami itu adalah orang yang sangat perhitungan. Tapi, aku tahu Yuli adalah orang yang kompeten dan sangat keras kepala, maka aku yakin Yuli bisa membujuk Bu Fatimah. Aku langsung menyetujui idenya. Yuli tampak senang dan matanya makin berbinar.
 Usai membicarakan soal Panti Matahari, aku pun bercerita kepada Yuli tentang lelaki dengan sosok malaikat dan senyum memikat yang kutemui sore tadi.
“Woow... Apa ini artinya kamu udah ketemu sama pengantin priamu?” Yuli mengerling menggodaku.
Tidak. Mustahil dia menjadi pengantin priaku. Sosoknya, senyumnya, dan sikap sopannya memang seperti pengantin pria yang selama ini aku idam-idamkan. Tetapi, masih terlalu cepat mengaitkannya. Lagipula, meski aku sangat ingin hal itu terwujud, tapi ada masalah yang langsung terbayang di antara kami. Meskipun... sejujurnya, aku berharap bisa bertemu lagi dengan lelaki itu.
***
Dan harapanku terkabul! Terimakasih, Tuhan.... Alhamdulillaah....
Siang itu aku sedang belanja bahan untuk membuat pernak-pernik yang kujual secara online. Kemudian entah bagaimana, pandanganku bersirobok dengan sosoknya. Ya, aku yakin itu adalah dia: lelaki malaikat dengan senyum memikat. Dia membawa sebuah kamera video, tampaknya ia sedang membuat profil toko ini. Kameranya merekam pemilik toko yang tengah melayani pembeli dengan ramah. Setelah agak lama, lelaki itu merekam suasana toko yang memang sedang sangat ramai. Dia merekam gambar dengan perlahan. Detik berikutnya, aku panik dan segera pergi ketika aku sadar dia sedang merekamku. Oh, tidak... jangan sampai dia melihat ekspresi bodohku yang memperhatikannya sedari tadi. Sama seperti sebelumnya, aku menghindarinya dan segera pergi dari toko.
Malam itu, Yuli membantuku merangkai manik-manik untuk pernak-pernik online-ku. “Na, coba deh kamu desain perhiasan trus kerjasama dengan perusahaan emas dan perak. Pasti sukses, Na. Desain kamu ‘kan bagus-bagus.”
Aku senang mendengar usul Yuli. Bisnis sekaligus menyalurkan hobi, tentu sangat menyenangkan. Tak sabar ingin kutunjukkan sebuah desain cincin emas yang baru kubuat. Anehnya, kucari-cari di dalam tas maupun sketch book tak juga kutemukan.
“Apa mungkin jatuh, Na? Tadi kamu pergi ke mana aja?”
Hari ini aku pergi ke beberapa tempat. Kertas itu bisa jatuh di mana saja, bahkan di dalam bus yang kunaiki. Ahhh..., badanku lemas seketika. Sepertinya aku hanya bisa pasrah dan merelakannya. Tak apa, aku bisa membuatnya lagi, batinku berusaha menenangkan diri sendiri.
***
Satu setengah bulan lagi akan ada pertunjukan untuk para donatur, jadi hari ini aku harus ke panti untuk mengukur kostumnya. Yuli datang belakangan bersama seseorang.
“Na, ini Daffa. Dia yang mau bantu kita bikin video profil panti.” Yuli memperkenalkan orang itu.
DIA??!
Aku hampir tak bisa menutupi kekagetanku. Dia adalah malaikat yang mengganggu tidurku beberapa minggu ini. Malaikat dengan senyum memikat itu ternyata bernama Daffa.
“Kamu...? tunggu,” Daffa tampak mengingat-ingat sesuatu ketika kami berkenalan. Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ini... sepertinya punyamu?” ia menyodorkan selembar kertas dengan coretan pensil di atasnya.
Desain cincinku yang hilang! Ah, untung bisa kutemukan lagi.
Daffa mencoba berkenalan dengan anak-anak panti yang sudah sedari tadi memperhatikan kami dan memandangi Daffa dengan raut penasaran. Baru sebentar berkenalan, anak-anak kecil itu terlihat sangat menyukai Daffa.
***
 “Bu Fatimah setuju bikin dokumentasi panti!” ujar Yuli, tepat ketika kubukakan pintu rumah untuknya. Aku turut senang mendengarnya.  
“Jadi, besok kamu bisa sering ketemu Daffa, Na. Kamu seneng ‘kan?” katanya lagi. Aku bingung, kenapa tiba-tiba dia melibatkan Daffa.
Yuli tersenyum seakan baru saja memecahkan sebuah teka-teki. “Sekarang, kamu harus cerita gimana bisa sketsa cincin kamu itu ada di Daffa?”
Aku tak bisa mengelak kalau Yuli sudah ‘menembak langsung’ seperti ini. Akhirnya kuceritakan kepada Yuli bahwa Daffa adalah orang yang kusebut Malaikat dengan Senyum Memikat. Kuceritakan pula kejadian di toko bahan pernak-pernik.
“Ehemm, jangan-jangan kalian berjodoh, Na. O ya, setelah ini ‘kan dia bakal sering datang ke panti. Ini kesempatanmu. Kenalan dong sama dia, pedekate, trus nikah!” komentar Yuli. Ini dia satu lagi kebiasaan unik Yuli, dia selalu berpikir semuanya bisa berjalan semudah apa yang dikatakannya.
***
Sudah beberapa kali Daffa datang ke panti dan aku selalu menolak tawaran kebaikan darinya. Siang itu di panti, aku sedang mengiringi latihan drama dengan keyboard. Daffa merekam dengan kamera videonya. Sesekali Daffa bercanda dengan anak yang menunggu giliran tampil. Usai latihan, dia mendekatiku dan mengajak makan siang. Namun aku terpaksa menolak ajakannya.
Sungguh, sebenarnya aku sangat ingin menerima kebaikannya, tertawa bersamanya, dan mengobrol dengannya seperti orang lain, tetapi aku tahu bahwa hal itu tak mungkin bisa terwujud.
Sore itu, aku sedang berjalan menuju halte ketika Daffa sudah menjajariku di atas motornya.
“Aku anter aja yuk, Nada!” ajak Daffa.
Aku tersenyum dan menggeleng, lalu mempercepat langkah.
Daffa membelokkan motornya secara mendadak dan berhenti tepat di depanku. Lalu ia turun dari motornya dan langsung menghadapiku.
“Aku tertarik sama kamu, Nada.” kata Daffa tiba-tiba, membuatku terlongong. “Sejak awal kita ketemu di bioskop, aku udah tertarik sama kamu. Sebenarnya aku sempat mengikutimu. Waktu tahu kalo panti mau bikin video profil, aku sengaja menawarkan diri. Trus pas kita ketemu lagi di panti, kupikir akhirnya aku ada kesempatan deketin kamu. Tapi kenapa, sepertinya kamu menghindariku?”
***
Sampai rumah, dadaku masih berdebar-debar. Pernyataan Daffa terlalu mengejutkan. Bagaimana bisa Daffa tertarik padaku? Ataukah dia hanya mempermainkanku?
Kebimbangan ini terlalu menyiksa. Apakah aku akan selamanya berkutat dengan perasaanku sendiri tanpa berani jujur kepada orang yang kucintai? Aku tak dapat menahan airmata yang terus mengalir sebagai ganti beribu kata yang tak dapat terucapkan.
Sore itu, Daffa ingin meminta tanggapan dariku atas pernyataannya. Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. Dengan berat hati aku mulai menulis:
            DAFFA, SUDAH TAHUKAH KAU BAHWA AKU BISU?
            Rona di wajah Daffa berubah pias. Ia melihatku setengah tak percaya dan selebihnya adalah semacam pandangan kasihan. Aku benci pandangan seperti itu. Jelas sudah, ia tak serius dengan ucapannya. Bagaimana mungkin dia tertarik padaku, tapi dia tak tahu keadaanku ini?
            Setelah kejadian itu, kulihat Daffa menjadi semakin akrab dengan Yuli. Mereka kini sering makan siang bersama. Aku memilih berpura-pura tak menghiraukan mereka meski kenyataannya aku memikirkannya setiap saat. Kecemasan itu terbawa ke dalam mimpi. Daffa menjadi pengantin priaku yang kemudian kabur bersama sahabatku sendiri, Yuli. Perih rasanya melihat kedekatan mereka.
Demi menghibur hati, kufokuskan diri pada persiapan pertunjukan panti dan mendesain perhiasan untuk sebuah perusahaan jewelry.
***
Hari ini, pertunjukan persembahan untuk para donatur panti digelar. Semua orang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
“Nada, bisa kita bicara sebentar?” Daffa menanyaiku ketika kami berpapasan di lorong. “Please,” pintanya memohon.
Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk.
Daffa tersenyum lebar,”Makasih.” Katanya. “Aku minta maaf karena aku udah berbuat bodoh selama ini. Aku merasa ada yang janggal karena beberapa orang di panti selalu menghindar kalo aku menanyai mereka tentang kamu. Kupikir itu karena kamu nggak mau kudekati. Ah, itu sungguh logika yang bodoh.” Mukanya memerah dan ia mengerutkan matanya. Bagiku itu ekspresi yang lucu, karena hidungnya yang mancung beo masih sangat menonjol.
“Maafkan aku…. Tapi sekarang aku udah tahu ceritanya dari Yuli. Kuharap kali ini aku nggak salah paham, dan aku…” tepat di saat yang membuatku tiba-tiba merinding itu, terdengar suara MC mengarahkan yang hadir untuk segera menempati kursinya. Acara akan segera dimulai. Menyebalkan, tapi aku harus segera pergi untuk mengiringi paduan suara sebagai pembuka. Daffa menahan tanganku,Nada, selesai acara aku tunggu di bangku dekat taman baca panti, ya.” Katanya. Aku mengangguk singkat sebelum beranjak.
Setelah paduan suara, Bu Fatimah memberikan sambutannya. Pertunjukan untuk para donatur panti menampilkan tari adat, acara sulap, dan yang terakhir adalah drama. Semua anak panti tampil penuh semangat dan berusaha menampilkan yang terbaik. Mereka yang biasanya tampak rapuh dan tak berdaya, saat ini terlihat bahagia dan percaya diri. Aku terharu melihatnya. Para donatur pun mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan mereka terhadap anak asuh mereka.
            Acara berakhir dengan tepuk tangan yang meriah. Benar-benar membanggakan semua pihak. 
Seusai acara, aku membantu menempatkan barang-barang di gudang. Aku baru sampai ambang pintu ketika kulihat Yuli dan Daffa, mereka... sedang berpelukan! Ada apa dengan semua ini?!
Aku hampir tak percaya mereka bisa berbuat begitu. Tak lagi peduli, properti drama kutinggalkan begitu saja dan aku langsung pergi. Di antara sesak dan isak, kudengar suara Yuli memanggilku.
Merasa dikhianati sahabat dan orang yang kucintai membuatku berharap bisa mengulang waktu ke beberapa tahun silam, ketika kepercayaan diriku masih utuh dan menatap masa depan dengan optimis. Kala itu tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku bisa seperti sekarang, bisu dan rendah diri. Terbayang aku yang masih ceria dengan banyak teman dan memiliki kekasih. Kini aku menangisinya.
Seolah masih kurasakan sakitnya tenggorokanku yang tertembus besi. Terbayang satu demi satu teman-temanku tak lagi pernah mengunjungiku, meninggalkanku setelah aku mengalami kecelakaan dan menjadi bisu. Bahkan dia yang saat itu kusebut kekasih, nyatanya hanya untuk mengucap maaf lah ia menemuiku untuk terakhir kali. Setelah sekian lama memendam kesedihan itu, kini aku kembali menggugat Tuhan, berharap kecelakaan itu tidak pernah menimpaku. Aku berharap saat ini aku masih bisa berbicara dengan lancar dan penuh percaya diri, bukan seseorang yang bisu dan apatis seperti sekarang. Tetapi, aku terbanting pada kenyataan bahwa inilah aku sekarang: si bisu yang apatis.
Ah..., betapa bodohnya aku. Akulah yang menghindari Daffa. Jika ia dan Yuli bahagia, kenapa aku marah? Yuli adalah sahabat yang baik. Dia tetap mau menjadi temanku dan bersedia meladeniku berdiskusi dan sabar karena aku harus menggunakan bahasa isyarat. Lalu kenapa aku malah menyalahkan Tuhan? Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya dengan cobaan yang melampaui kemampuannya. Aku masih percaya itu. Aku harus tetap melanjutkan hidup demi diriku sendiri dan orang-orang yang menyayangiku, paling tidak, untuk Ayah dan Ibu yang kini mungkin tengah melihatku dari alam sana.
***
Pagi ini cerah sekali. Kuputuskan untuk pergi ke taman kota. Hijaunya tanaman, indahnya bunga yang bermekaran, dan embun pagi yang masih menggelayut padanya selalu bisa menggugah imajinasi dan semangatku. Aku menggambar sebuah liontin dengan bentuk tetesan air dan sulur bunga yang seolah mendekapnya.
            “Nada...,”
            Aku mendongak, ternyata Daffa sudah berdiri di depanku dan tersenyum manis. Aku terkesiap, memangnya apa yang bias kulakukan selain diam. Ia lalu mengambil duduk di sisiku.
            “Lagi mendesain kalung, ya?” tanyanya.  “Bagus,” pujinya.
            Hening. Kami berdua seperti orang yang baru pertama bertemu.
            “Maaf,” ujar Daffa memecah kebisuan di antara kami, “tempo hari pasti bikin kamu salah paham soal kejadian di gudang. Aku dan Yuli...” aku hampir bangkit dari dudukku, tetapi Daffa menahan tanganku.
“Tolong jangan pergi dulu.” pintanya. Daffa menghela napas,“Waktu itu Yuli terpeleset dan hampir jatuh, dan kebetulan aku di dekatnya. Tepat saat itu, kamu datang dan melihatnya.” ujar Daffa.
            Lalu kami sama-sama diam. Aku ingin percaya dengan penjelasannya, tetapi apa gunanya? Tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku dan dia mustahil bersatu. Aku mengangguk kecil pada Daffa, lalu berdiri dan berjalan pergi.
“Nada…!” panggilan Daffa membuatku berhenti dan menoleh ke belakang. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kotak yang di dalamnya ada cincin persis seperti desainku yang ditemukan olehnya. Daffa berjalan mendekatiku, mengulurkan kotak itu tepat di depanku. Ia menatapku dalam-dalam sambil berkata, “Nada, please, be my wife... would you?”
            Kali ini aku benar-benar terpukau. Saat itu juga aku sangat ingin memeluk Daffa, tapi akal sehatku masih berfungsi. Dengan panik aku mencari pensil dan selembar kertas kosong. Aku mulai menulis:
            TAPI AKU B--
            Daffa tiba-tiba menyahut kertas dari tanganku, meremasnya, lalu membuangnya begitu saja.
Daffa kembali menatapku dalam-dalam dan berkata,”Kamu cantik dan lembut, Nada. Kamu seperti bidadari yang memberikan keceriaan bagi anak-anak panti. Dan terkadang, kamu juga lucu kalau sedang mencari-cari barangmu yang terselip. Aku suka kamu yang seperti itu. Bagaimanapun kamu, Nada, bagiku kamu selalu sempurna.”
Dapat kulihat jelas tekad dan kejujuran dalam bola matanya, tetapi aku masih sedikit ragu.
            “Nada, aku mohon... kamu mau jadi istriku....” ujar Daffa.

            Ucapannya itu menepis semua keraguanku. Saat ini, andai aku tidak bisu pun, aku pasti akan terbisu. Malaikat yang amat kucintai ternyata menawarkan diri menjadi pendamping dalam kesunyianku. Lagi-lagi hanya airmata yang dapat mewakili isi hatiku. Tetapi, kali ini aku merasa bahagia. Sangat bahagia. Terimakasih, Tuhan. Alhamdulillaah....

4 komentar: